Gelaran Piala Dunia di Korsel dan Jepang
dikenang sebagai panggung terakhir Ronaldinho, Rivaldo dan Ronaldo.
Namun, kacaunya perilaku wasit membuatnya juga terus dikenang buruk di
memori pecinta bola.
Di lain pihak, bintang utama turnamen kala itu adalah tridente
Brazil, Ronaldinho, Rivaldo dan Ronaldo. Ketiganya terus menari,
menunjukkan skill tingkat dewa mereka sampai ke babak pamungkas. Tetap
saja, ketika ditanya momen apa yang masih diingat dari Piala Dunia 2002,
mayoritas orang akan melupakan
delapan gol yang dilesakkan Ronaldo. Hanya sedikit juga yang masih ingat
lob legendaris Ronaldinho yang bikin David Seaman keki.
Sebaliknya, yang dikenang oleh banyak orang dari Piala Dunia 2002
adalah beragam kontroversi yang menyelimutinya, mulai dari politik kotor
FIFA, pengenalan aturan golden goal dan wasit yang berat sebelah.
Salah satu coreng Piala Dunia 2002 bahkan terjadi enam tahun sebelum
kick off pertandingan
pembuka dilakukan, ketika Jepang dan Korea Selatan terpilih sebagai
tuan rumah bersama. Sebelumnya, kedua negara harus berjibaku untuk
terpilih sebagai tuan rumah Piala Dunia. Ini adalah kali pertama
penyelenggaraan Piala Dunia dipercayakan pada dunia negara yang
bertetangga lantaran baik Jepang maupun Korea Selatan tak memiliki
infrastruktur yang memadai untuk menjadi tuan rumah tungga. Fakta bahwa
sebelum mengajukan diri sebagai tuan rumah, timnas Jepang tak pernah
lolos kualifikasi Piala Dunia sendiri jadi sorotan publik sepakbola saat
itu. Hal lain yang bikin terpilihnya kedua negara sebagai penyelenggara
Piala Dunia adalah permasalahan logistik yang dihadapi para fan
sepakbola yang datang untuk menonton pertandingan secara langsung
Para suporter harus menyebrangi lautan mengejar pertandingan yang
mereka incar. Belum lagi, perbedaan waktu antara benua Asia dan Eropa
ada PR tersendiri bagi pecandu sepakbola di Eropa. Mereka harus menonton
pertandingan di pagi hari. Imbasnya, jam kerja jutaan orang di Eropa
acak-acakan. Sebagai gelaran Piala Dunia pertama di Asia, Piala Dunia
2002 dianggap sebagai permainan politik FIFA yang mengorbankan
kenyamanan supporter sepakbola. Puncaknya, muncul pertanyaan besar
tentang kultur sepakbola Korea Selatan dan Jepang—pertanyaan sama banyak
muncul seiring terpilihnya Qatar sebagai tuan rumah Piala Dunia 2022.
Tentu
saja kita bisa menuding komentar-komentar miring hanyalah bentuk
arogansi publik sepakbola Eropa. Lagipula, FIFA waktu itu tak berpikir
bakal menganulir rencananya mengeksploitasi pasar Asia yang besar cuma
lantaran gerutuan rezim sepakbola lama. Malah, pada akhirnya, publik
dibuat tercengang dengan kultru sepakbola Korea Selatan yang menarik,
meski di Jepang sambutan akan gelaran terbesar sepakbola ini terasa
suam-suam kuku belaka setelah Jepang menyerah pada Turkki di babak 16
besar.
Di bawah panduan Guus Hiddink, timnas Negeri Ginseng itu
jauh mengungguli rekannya sesama penyelenggara Piala Dunia 2002 dan
mengorbankan badai Piala Dunia dari Gwangju hingga Ulsan, Daegu hingga
Seoul. Penggunaan metafora "badai" sangat populer dalam pemberitaan
Piala Dunia waktu itu lantaran digelar di musim angin moonsoon—ada
kekhawatiran akan terjadi badai yang tak sedikitpun terbukti dan juga
karena badai kritik yang diterima karena catatan kesuksesan timnas Korea
Selatan di ajang itu.
Semasa fase grup, timnas Setan Merah melenggang tanpa satu pun insiden
berarti. Korea Selatan menang dengan menyakinkan atas Portugal dan
Polandia dan bermain imbang dengan skor 1-1 melawan Amerika Serikat.
Memang, ada sedikit kontroversi dalam partai melawan Portugal. Dua
anggota skuad Portugal,
Beto dan Joao Pinto diusir ke luar lapangan.
Namun, saat itu, Korea Selatan memang pantas keluar sebagai kampiun dan
menjadi pemuncak grup. Yang kerap dianggap sebagai pertandingan
kontroversial adalah pertemuan Korea Selatan melawan Italia di babak 16
besar, yang dimenangkan Korea Selatan dengan skor 2-1.
Ahn
Jung-Hwan menyundul bola melewati Gianluigi Buffon tiga menit sebelum
perpanjangan waktu kedua berakhir. Performa tim azzurri sepanjang Piala
Dunia 2002 sebenarnya tak bagus-bagus amat, kalau tak bisa dibilang
busuk meski diperkuat nama besar seperti Maldini, Cannavaro, Totti,
Nesta, Inzaghi, Materazzi, dan Vieri. Namun tetap cara mereka kalah dari
timnas Negeri Ginseng yang menorehkan luka mendalam di hati publik
sepakbola Italia
Skuad Korea Selatan yang ditukangi Hiddink turun dengan formasi menyerang 3-4-3 dan
pressing
tingi yang diterapkan Korea Selatan bikin Italia keteteran sejak awal.
Meski Vieri mengoyak gawang Korea Selatan di menit ke-20, fan Azzurri
dibikin keki oleh serangkaian pelanggaran yang dibiarkan begitu saja.
Alhasil, pengadil lapangan waktu itu Byron Moreno asal Ekuador
memberikan kesempatan Korea Selatan menyerang habis-habisan tanpa
halangan berarti.
Sebaliknya, Italia harus menerima hukuman berat dari Moreno.
Francesco Totti diusir keluar lapangan karena dituduh melakukan diving.
Damiano Tommasi sempat bikin gol yang lekas dianulir wasit karena konon
sudah dalam posisi off-side. Choi Jin-cheul melayangkan tekel dua kaki
terhadap Gianlca Zambrotta sementara Kim Tae-Young dengan santai bisa
menyikut Alessandro Delpiero. Italia memang tak lepas dari kesalahan
dalam pertandingan yang berlangsung keras. Namun, yang menjengkelkan
serangkaian pelanggaran keras Korea Selatan lolos begitu saja.
Di Italia sendiri, banyak yang menolak mengakui kemenangan Korea
Selatan. Bahkan sebagai bentuk balas dendam, status pinjaman Jung-hwan
dihapus dari tim Serie A, Perugia. Headline surat kabar Italai tak kalah
pedasnya. Giorgio Tosatti, seorang jurnalis sepakbola legendaris
Italia, bahkan sampai menulis di
Corriere della Sera "Italia didepak dari Piala Dunia kotor yang mengubah wasit dan hakim garis menjadi pembunuh bayaran."
Beberapa teori konspirasi mengenai pengadil asal Ekuador itu mulai marak tersebar. Imbasnya, FIFA segera menyelidiki serangkaian kontroversi yang melibatkan Moreno.
Bahkan orang nomor satu di FIFA saat itu Sepp Blatter sampai angkat
bicara. Baginya, kesalahan yang terjadi di lapangan murni "kesalahan
manusia bukan sesuatu yang direncanakan." Tentu saja, ucapan Blatter tak
serta ditelan mentah-mentah oleh publik sepakbola Italia. Opini yang
berkembang di Italia saat itu adalah bahwa pertandingan itu sudah diatur
sedemikian rupa agar Korea Selatan bertahan lebih lama dalam turnamen
dan kepentingan FIFA di Asia bisa diselamatkan tanpa memerdulikan
prinsip fair play sepakbola.
Saat Korea Selatan kembali menjungkan
tim raksasa Eropa, Spanyol di babak perempat final, kemarahan media
Eropa berlipat ganda. Kali ini, wasit asal Mesir, Gamal Al Al-Ghandourm,
yang jadi pusat kontroversi setelah
menganulir dua gol bersih dari Spanyol
sementara—di sisi lapangan—pelatih Spanyol José Antonio Camacho
memprotes keras keputusan wasit, mengangkat kedua tangannya tinggi-tingi
sampai kedua ketiaknya yang basah terlihat jelas (barangkali sampai
saat ini, ini adalah ketiak basah paling kesohor dalam sejarah
sepakbola).
Kegeraman mengemuka lewat halaman surat kabar Inggris
The Telegraph.
Kolomnis olahraga Paul Hayward menulis: "Laporan menunjukkan bahwa
Korea Selatan mengalahkan Spanyol dalam adu pinalti di Gwangju Sabtu
lalu. Ini bohong belaka dan turnamen ini sudah berubah jadi lelucon."
Hayward juga mengkritik keras politik internal dalam pemilihan wasit.
Baginya, keputusan FIFA untuk menggunakan wasit dari negara-negara minor
dalam kompetisi sepakbola sebagai tindakan "anti-meritocratic." Tentu
saja, media massa Spanyol tak kalah berangnya, mereka menuduh hasil
pertandingan perempat final itu sebagai hasil kecurangan.
Kalau saja Korea Selatan berhasil mengalahkan Jerman di semifinal,
kemungkinan besar bakal terjadi kerusuhan besar, setidaknya di luar
kantor surat kabar ternama di Eropa. Untungnya mimpi indah Korea Selatan
diakhir oleh gol tunggal tim Panzer dari kaki Michael Ballack. Meski
kalah, anggota timnas Korea Selatan diperlakukan layaknya pahlawan di
semenanjung Korea. Bahkan, Ri-Kwang-gun, ketua Asosiasi Sepakbola Korea
Utara, sampai harus mengirimkan ucapan selamat kepada musuh
bebuyutannya.
Di Italia dan Spanyol, Piala Dunia 2002 masih dikenang sebagai pengalaman pahit yang selalu bkin geram.
Seiring dengan terbongkarnya skandal FIFA di tahun 2015,
kecurigaan ada permainan politik di dalam FIFA yang membuat timnas
mereka tersingkir oleh skuad negara gurem makin menebal. Tapi, apapun
terjadi, dua pertandingan itu dikenang sebagai memori yang membanggakan
di Korea Selatan. Gerutuan, omelan, dan protes keras dari benua Eropa
tak akan bisa menghapus kenangan terbaik mereka atas Piala Dunia.
~jsm~